Wednesday, April 2, 2008

Peran Politik Perempuan

Wacana tentang perempuan dan politik seakan tak pernah habis dibahas dalam beragam diskusi apalagi menjelang diadakannya pemilihan umum (pemilu). Perdebatan antara peran publik dan peran domestik perempuan pun mencuat, menjadi dua hal yang seakan dipertentangkan satu sama lain.



Perempuan dalam ruang lingkup social kemasyarakatan selama ini faktanya memang lebih banyak mengambil peran domestic daripada peran public. Tapi bukan berarti tidak ada perempuan yang dapat menjalankan kedua peran tersebut dengan gemilang. Demikian juga sebaliknya, kaum laki-laki yang selama ini lebih banyak mengambil peran public bukan tidak mungkin juga mampu mengambil peran domestic dengan sangat baik.
Kedua peran tersebut, antara peran public dan peran domestic selayaknya tidak didikotomikan.
Wacana perdebatan tentang politik perempuan juga masih sering terjebak pada wacana partisipasi dan representasi kuantitatif. Undang – Undang memang telah memberi afirmatif action (tindakan khusus) dengan menetapkan kuota 30 persen bagi keterwakilan perempuan di parlemen. Tetapi melihat fakta yang dihasilkan pada pemilu tahun 2004 kemarin, jumlah anggota legislatif pusat perempuan tidak lebih dari 11%, angka ini bisa lebih kecil di legislatif tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Padahal pada saat pemilu, calon anggota legislatif perempuan mencapai lebih dari 30%.
Pemilu tahun 2004 kemarin oleh para pengamat diapresiasi dan dianggap sebagai pemilu yang demokratis dan lebih adil karena menggunakan sistem proporsional terbuka, dimana para pemilih dapat dengan leluasa menentukan pilihannya tanpa dibatasi oleh kekuasaan partai politik dan memungkinkan calon anggota legislatif (caleg) dengan urutan bawah sekalipun memiliki peluang yang sama untuk dipilih menjadi anggota legislatif. Dan hal ini juga berarti bahwa caleg perempuan mempunyai peluang yang sama dengan caleg laki – laki untuk dipilih.
Menilik hal tersebut diatas, seyogyanya wacana perdebatan tentang politik perempuan sudah tidak lagi berkutat soal partisipasi dan representasi kuantitatif, walaupun afirmatif action dengan kuota 30 persen layak diapresiasi. Wacana harus sudah bergeser pada persoalan kualitatif. Bisa jadi, ketertindasan perempuan di ranah politik yang selama ini menjadi agenda dan wacana sejatinya bukan penindasan oleh sistem patriarkhi seperti yang selama ini dipaksakan menjadi paradigma,tetapi justru keterindasan perempuan oleh kebodohan dan kejumudan pribadi. Jangan sampai ada kesalahan pengidentifikasian permasalahan agar tidak salah dalam mengambil tindakan penyelesaian. Para perempuan yang terjun di dunia politik harus mampu menunjukkan perannya secara signifikan. Bukan sekedar untuk memenuhi kuota. Jika secara kualitas layak untuk dipilih maka tidak perlu lagi ada yang meragukan perannya dalam membuat keputusan – keputusan politik. Sehingga representasi politik perempuan bukan sesuatu yang semu tetapi memberikan arti yang nyata untuk perubahan signifikan ke arah yang lebih baik.
by : Sri Lestari,Ssi., Apt

No comments: