Wednesday, April 2, 2008

Tetanggaku sayang

Hidup di sebuah rumah kontrakan sangat sederhana dengan dua kamar dan satu kamar mandi punya romantika tersendiri. Dinding tripleks yang sama sekali tidak kedap suara bisa punya telinga. Lantai kamar tidur yang dilantai atas terbuat dari kayu agaknya harus disyukuri karena tidak membawa lembab pada selembar karpet alas tidur.
Bila hujan tercurah dari langit maka saatnya untuk kerja bakti bersih-besih karena kebanjiran. Masalah MCK (mandi, cuci, kakus) seringkali menambah beban latihan kesabaran dari mulai air yang harus di kaporit, WC yang mampet hingga saluran air yang nggak jalan.


Tapi dari keseluruhan nuansa kontrakan rumah petak ada sesuatu yang sangat menarik dan melengkapi nuansa yang lainnya, yaitu tetangga.
Ada bermacam karakter yang unik dan menantang untuk dicermati. Kadang kalau kurang kehati-hatian bisa menimbulkan masalah yang tak terbayangkan sebelunnya. Suatu masalah yang sebelumnya dianggap sepele tiba-tiba bisa menjadi menggelembung dan siap meledak yang menimbulkan perasaan was-was dan suasana yang membara sepanas suhu politik nasional. Obrolan ringan antar tetangga tiba-tiba bisa beralih topik menjadi ajang “mencari kuman diseberang lautan” tetangga yang lain. Kebisingan adalah irama yang tak tentu waktu dan ritmenya, tiap rumah membunyikan hiburan kegemaran masing-masing dengan suara yang cukup heboh ibarat konser. Tagihan rekening listrik yang membengkak, tiba-tiba menjadi obrolan ramai di pagi buta dan masing-masing menganggap tetangga yang lain yang memakai listrik terlalu banyak sehingga bagi yang males ribut akan berusaha menghemat pemakaian listrik dengan menyalakan lilin kalau ke kamar mandi!.
Dari sekian banyak resiko interaksi sosial dengan para tetangga, ada yang tak dapat dipungkiri bahwa para tetangga ternyata juga memberi kebaikan yang banyak. Setidaknya kalau ada sesuatu yang tidak bisa diatasi sendiri. Atau bagi ibu-ibu yang memasak dan tiba-tiba perlu jahe seruas, maka lari ke dapur tetangga bisa jadi akan menemukan solusinya. Kalau tidak ada tetangga kadang terasa ada sepi yang menggigit kesendirian. Setidaknya tidak ada yang disapa walaupun itu cuma sapaan basa-basi. Dan kata siapa basa basi itu basi dan tidak penting. Kadang basa-basi bisa menjadi pemenuhan dasar manusia sebagai homo homini lopus.
Setiap orang pada fitrahnya mengharapkan interaksi yang indah dengan orang lain terutama dengan tetangga yang setiap hari bertemu muka. Kalau ada konflik, mungkin secara tidak sadar itu adalah sebagai sarana penyaluran luapan-luapan emosi akibat tekanan hidup yang berat. Interaksi yang indah dengan tetangga bukan sebuah ketidakmungkinan untuk diciptakan. Sebagaimana konsep ukhuwah, berinteraksi dengan tetangga membutuhkan kesediaan untuk berhusnudzon (berpikir positif dengan menjauhi segala bentuk prasangka ) dan sikap itsar (mendahulukan kepentingan orang lain). Disamping itu, mengubah majelis-majelis yang tidak produktif yang seringkali menjadi sarana ghibah menjadi majelis ilmu atau majelis diskusi yang bermanfaat walaupun tidak secara kaku harus di buka dengan kata pembuka dan ditutup dengan do`a. Jika sikap saling mendukung dan saling menolong antar tetangga tumbuh dengan subur dan masing-masing berusaha untuk fastabikhul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan) maka hidup di kontrakan rumah petak akan terasa lebih indah daripada di istana megah yang sepi dan dingin dari sentuhan-sentuhan hikmah produk interaksi antar manusia. Maka tidak akan ada ungkapan ‘tetanggaku garang’ yang ada adalah ungkapan’tetanggaku sayang’. Wallahu a`lam bi shawab.
by: Sri Lestari, Ssi., Apt

No comments: